Tanpa Sepatah Kata


Aku pernah ada. Di sana bersamamu. Menuai banyak sekali cerita meski kini semua sudah terasa asing, kau memilih menjadi sesuatu yang usang yang kaupikir aku tak mau lagi menginginkanmu. Padahal, jauh di lubuk hati, kau masih menjadi penghuni di sana.

Jangan lagi mengingat. Jika apa yang kauingat terasa kian menusuk relung hati.
Melupalah untuk sesuatu yang seharusnya kaulupa.
Jangan lagi menangis. Parau suara itu di telingaku.

Katakan padaku bagaimana dulu kaujatuh cinta denganku. Ingin kulakukan lagi agar kau terus jatuh cinta berualng kali denganku.
Katakan bagimana kini kau memilih menuntaskan cerita kita yang sebenarnya belum selesai?
Secepat itukah rasamu pudar?

Kini saatnya kau kembali mencintai orang baru. Seseorang yang (mungkin) lebih tahu bagaimana cara berterima kasih pada dunia yang sudah menitipkanmu padanya.
Berhentilah bertanya. Bukankah setiap perasaan akan pudar pada masanya?

Saat semua sayapku patah karenamu, bagaimana aku akan terbang mencari tempat baru untuk pulang? Saat satu-satunya yang kupunya lantas memilih pergi, kepada siapa lagi aku mengadu?
Pada akhirnya akulah yang harus bangkit. Memulihakan segala luka-luka, dan aku butuh kamu. Masih.

Kamu harus percaya, di hamparan bumi sana, selalu ada yang bisa menghargaimu, tentunya yang layak kauperjuangkan.
Jangan terjebak padaku. Jangan memilih buta lantas seperti tidak tahu ada yang sedang menunggumu di muara sana.

Benar. Aku buta. Cintamu meluluhlantakan duniaku. Aku memang seperti gila. Bahakn sudah.
Sampai-sampai aku terjebak pada sesuatu yang fana--cintamu hanya menuntaskan tawa yang fana.
Jangan lagi kembali. Kini aku memilih jalan untuk lupa, meski panjang dan berliku.
Jangan lagi ada untuk menyakiti meski jalan yang kupilih terasa seperti menyakitiku sendiri.
Jangan lagi menjadi alasan atas semua lukaku.
Terima kasih sudah memilih pergi tanpa sepatah kata.

Komentar

Postingan Populer