Egois



Pada titik tertentu masing-masing manusia akan berada pada titik terlelahnya sebagai mahluk hidup.

Tetapi ketika aku mulai diam, ketika hujan di mataku mulai jatuh, ketika dadaku mulai sesak, mengapa aku tidak begitu peka pada diriku sendiri bahwa aku sudah merasa lelah akan semuanya.
Lebih mementingkan egoku untuk terus merasa "aku kuat" dan "aku bisa".

Dalam fase-fase kehidupan, masing-masing manusia akan merasakan jatuh cinta dan patah hati, meninggalkan dan ditinggalkan. Diabaikan dan mengabaikan.
Aku sadar betul akan hal itu.

Tetapi mengapa ketika seseorang mulai menjaga jarak denganku, mulai mengurangi frekuensi obrolan dan pertemuan denganku, aku tidak bisa menyadari bahwa aku sedang diabaikan saat itu.
Kenapa aku terus ada di fase "jatuh cinta" padahal seseorang yang kucintai sedang menuju fase "meninggalkan".

Apakah mencintai seseorang harus membuatku merasa aku ini bodoh?.
Haruskah aku menahan seseorang yang ingin beranjak pergi agar tetap tinggal?

Setiap pagi, siang, sore, dan malam bagiku tidak akan ada apa-apa nya jika aku belum melihat bibirnya melengkung tipis. Tidak akan ada apa-apa nya jika aku belum mendengar sapanya.
Tetapi baginya, apabila setiap pagi-siang-sore-malam aku menyapanya, itu tidak akan membuatnya nyaman. Seolah aku hanyalah moodbreaker baginya. Padahal dia adalah moodbooster untukku.

Sebegitu egoisnya aku pada diriku sendiri. Membiarkan hujan di mataku jatuh dan hatiku hancur demi mencintai seseorang.


(Indramayu,  03 Januari 2020)
dms~

Komentar

Postingan Populer